Hukum Pernikahan Islam
HUKUM PERNIKAHAN MENURUT AGAMA ISLAM
Dalam
kehidupan sehari-hari manusia sudah diatur oleh hukum baik itu hukum
negara, hukum agama maupun hukum adat, semuanya sudah diatur sedemikian
mungkin. Didalam hal perkawinan juga telah diatur menurut agamanya
masing-masing, agama manapun telah mengatur hukum tentang perkawinan.
Tentang hukum
melakukan perkawinan Ibnu Rusyd menjelaskan : segolongan Fuqoha, yakni
jumhur (Mayoritas Ulama) berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya
Sunnah. Golongan Zhahiriah berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya
Wajib, sementara itu para ulam malikiyah mutakhirin berpendapat bahwa
perkawinan itu hukumnya Wajib untuk sebagian orang, Sunnah untuk
sebagian orang, dan Mubah untuk segolongan lainnya. Semua
pendapat-pendapatan diatas berdasarkan pada kepentingan kemaslahatan dan
pendapat-pendapat diatas juga sudah mempunyai alasan-alasan. Namun Ibnu
Rusyd menambahkan bahwa perbedaan pendapat ini disebabkan adanya
penafsiran apa bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits yang
berkenaan dengan masalah ini, haruskah diartikan Wajib, Sunnah, ataukah
Mubah ?. Sesuai dengan firman Allah Swt yang menyatakan :
“…Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak bisa berlaku adil maka kawinilah
satu saja ”.
(QS. An-Nisa’ : 3). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454 ).
“ Dan kawinilah orang-orang yang sendirian (janda) diantaramu, dan
hamba sahaya laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan”.
(Q.S. An-Nur : 32). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454)
Hadits tentang penikahan adalah :
“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba-lomba dengan umat-umat yang lain”. (Al-Baihaqi : 1229).
Terlepas dari pendapat para Imam / Madzhab diatas yang berbeda
pendapat didalam mendefinisikan dan menafsirkan arti perkawianan.
Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, islam sangat menganjurkan kepada
kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian
kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan perkawinan serta
tujuan dari perkawinan, maka melaksanakan suatu perkawinan itu dapat
dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Haram, makruh ataupun Mubah .
(Sayyid Sabiq 6, 1996 : 22).
1. Pernikahan hukumnya Wajib
Bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, namun
nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah
bagi dia untuk kawin, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan
baik kecuali dengan jalan kawin.
Kata Qurtuby :
Orang bujang yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya
jadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali
dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya dia
kawin. Allah berfirman :
“ Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga dirinya
sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan karunia-Nya,” (QS.
An-Nuur : 33).
“Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah
saw, kepada kami : hai golongan orang-orang muda! Siapa-siapa dari kamu
mampu berkawin, hendaklah dia berkawin, karena yang demikian lebih
menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang
siapa tidak mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu pengebiri
bagimu”.(Ibnu Hajar Al-Asqalani, A Hassan, 2002 : 431).
2. Perkawinan hukumnya Sunnah
adapun bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu
kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka
sunnahlah ia kawin. Kawin baginya lebih utama dari bertekun diri dalam
ibadah, karena menjalankan hidup sebagai pendeta sedikitpun tidak
dibenarkan islam. Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa
Rasulullah bersabda :
“ Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang
lurus lagi ramah (kawin) kepada kita”. (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 23).
3. Perkawinan hukumnya Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin
kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin.
Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai
istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya, maka
tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan keadaannya
kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak
istrinya. Allah berfirman :
“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan
dengan tanganmu sendiri…” (QS. Al-Baqarah : 195). (Al-qur’an dan
terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 : 36)
4. Perkawinan hukumnya Makruh
Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi
belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan
tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga makruh hukumnya jika
karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau
menuntut sesuatu ilmu.
5. Perkawinan hukumnya Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan
segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin,
maka hukumnya mubah.
RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN YG SAH MENURUT SYARA’
A. PENDAHULUAN
Pernikahan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat. pernikahan yang
sah harus memperhatikan larangan-larangan Pernikahan sebagai tersebut di
bawah ini.
B. BEBERAPA ASAS HUKUM PERNIKAHAN
Dalam membicarakan larangan Pernikahan menurut hukum islam, ada 3
(tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu: 1) asas absolut abstrak, 2)
asas selektivitas dan asas legalitas. Asas absolut abstrak, ialah suatu
asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami istri itu
sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan
manusia yang bersangkutan, Asas selektivitas adalah suatu asas dalam
suatu Pernikahan di mana seseorang yang hendak menikah itu harus
menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa
dia dilarangnya. Asas legalitas ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib
hukumnya dicatatkan.
C. ADA BERMACAM-MACAM LARANGAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM (ASAS SELEKTIVITAS)
Asas selektivitas dirumuskan dalam beberapa larangan perkawinan,
dengan siapa dia boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa dia
dilarang (tidak boleh menikah).
Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) antara lain:
1. Larangan perkawinan karena berlainan agama;
2. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat;
3. Larangan perkawinan karena hubungan susuan;
4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda;
5. Larangan perkawinan poliandri;
6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di Li’ an;
7. Larangan perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina;
8. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri yang ditalak tiga);
9. Larangan kawin bagi pria yang telah beristri empat, dijabarkan satu per satu sebagai berikut:
Ad.1. Larangan Perkawinan Karena Berlainan Agama
Dasar hukumnya Al quran surah II ayat 221, yang berbunyi. Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman,
sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik
walaupun dia menarik hatimu. (Al Baqarah ayat 221)
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan
wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintahnya kepada
manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam kaitan ini baik ditinjau Asbabun Nuzul dari Q.II: 221.
a. Ibnu Abi Murtsid Al Chanawi memohon izin kepada Nabi Muhammad SAW,
agar dia dapat diizinkan menikah dengan seorang wanita musyrik yang
cantik dan amat terpandang. Rasulullah belum dapat menjawab walaupun
telah 2x ditanya. Sesudah Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah
Q.II: 221. Yang melarang laki-iaki muslim menikahi wanita musyrik dan
sebaliknya melarang wanita muslim menikahi laki-¬laki musyrik. (Rawahul
Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al wahidi).
B. Abdullah bin Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang
amat hitam. Pada waktu itu ia marah kepadanya dan menampar budak
tersebut tetapi kemudian ia menyesal, lalu menceritakan kepada Nabi
Muhamamd saw. Dan bertekad akan menebus penyesalan itu dengan menikahi
budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu mencela dan mengejek
tindakan Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau
melaksanakan¬nya. Maka turunlah q. Ii: 221 sebagai pembenaran
tindakannya itu:
“Bahwa seorang hamba sahaya (budak) yang muslimah lebih baik daripada wanita musyrik.”
Rawahul Al Wahidi dari Assu’udi dan berasal dari Abi Maliki, bersumber dari Ibnu Abbas.
Kedua kasus atau peristiwa tersebut di atas adalah asbabun alnuzzul
(asbabun nuzul) dari Q.II: 221. Bahwa menikahi wanita budak (hamba
sahaya atau pembantu) yang mukmin lebih baik daripada menikahi wanita
nonmuslim (musyrik) walaupun dia cantik dan menarik (lihat juga fatwa
MUI DKI Jaya tanggal 30 september 1986, tentang larangan perkawinan
antaragama).
Ad.2.Larangan Perkawinan Karena Hubungan Darah Yang Terlampau Dekat
Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara
keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan
mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat bahkan
kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr. Ahmad ramali
Jalan Menuju Kesehatan Jilid I, halaman 221).
A. Q. IV: 23a.
Dilarang karnu (laki-laki) rnenikahi ibu kandung karnu.
B. Q .IV: 23b.
Dilarang kamu (laki-laki) rnenikahi anak perernpuan kandungmu.
C. Q. IV: 23c.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandungmu yang perempuan.
D. Q. IV: 23d.
Dilarang karnu rnenikahi anak perernpuan dari saudara laki-iaki kandungmu.
E. Q. IV: 23e.
Dilarang kamu menikahi anak perernpuan dari saudara perempuan kandungmu.
F. Q. IV: 23f.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ibu kamu.
G. Q. IV: 23g.
Dilarang kamu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ayah karnu.
Larangan di sini bukan berarti larangan menikahi dalam arti formil
saja (melalui prosedur akad nikah dengan ijab qabul), tetapi juga
termasuk larangan menikahi secara materiil yaitu melakukan hubungan
seksual.
Bilamana kita hubungkan dengan pengertian nikah menurut versi hanafi
bahwa nikah itu dalam pengertian asli ialah hubungan seksual, sedangkan
menurut syafi’ i nikah itu menurut pengertian majazi (metheportic)
adalah hubungan seksual antara seorang wan ita dengan seorang pria.
Justru karena itu dalam pergaulan sehari-hari an tara ayah dengan
anak perempuan yang sudah dewasa (baligh), demikian juga antara seorang
anak laki-iaki dewasa dengan ibunya haruslah dijaga sedemikian rupa agar
jangan sampai terlanggar norma hukum tuhan yang maha esa tersebut
(lihat pos kota tanggal 26 desember 1979 dan tanggal 10 desember 1979).
Ad.3. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan
Masih dalam pembicaraan q. Iv: 23 terdapat aturan tentang larangan perkawinan karena ada hubungan susuan.
Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak
mempunyai hubungan darah, tetapi pemah menyusu (menetek) dengan ibu
(wanita) yang sarna dianggap mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya
timbul larangan menikah an tara keduanya karena alasan sesusu
(sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu beberapa kalikah
menyusu itu atau berapa lama menyusu itu yang menimbulkan larangan
menikah itu.
Ada dua pendapat tentang masalah tersebut.
Pendapat pertama mengatakan bahwa walaupun menyusu (menetek) itu satu
kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan
antara anak laki-iaki yang menyusu itu bahkan juga berlaku larangan bagi
anak laki-iaki itu kelak dengan anak dari ibu (wanita) tempat dia
menyusu itu pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta
pengikut-pengikut mazhab hanafiah tersebut seperti juga, hambali dan
imam malik.
Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu minimal 5 (lima) kali sampai
kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan kapan
waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali itu, atau
berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah timbul larangan
perkawinannya. Pendapat ini adalah pendapat imam syafi’i dengan para
penganutnya.
Di samping itu berdasarkan penyelidikan dari sudut medis (ilmu
kesehatan). Maka ternyata air susu ibu itu barn berproses menjadi darah
dan daging untuk membentuk fisik bayi apabila~ menyusui itu minimal 5
(lima) kali sampai kenyang (iihat dr. Ahmadi ramali: jalan menuju
kesehatan).
Berhubung dengan itu ada tendensi (iebih banyak) bahwa pendapat imam
syafi’i itu didukung oleh para faqih (para sarjana islam) termasuk
penulis.
H. Q. IV: 23h.
Dilarang kamu menikahi perempuan di mana kamu pernah menyusui.
I. Q. IV: 23i.
Dilarang kamu menikahi perempuan sesama susuan yaitu anall dari perempuan yang kamu pernah menyusu pada ibunya.I
Ad.4.a. Larangan perkawinan karena hubungan semenda
Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan yang
terdahulu, misalnya kakak adik perempuan dari istri kamu (laki-laki).
Laki-iaki (kamu) telah menikahi kakaknya yang perempuan atau adiknya
yang perempuan maka timbullah larangan perkawin antara suami dari
kakakladik perempuan itu dengan kakaknya ¬perempuan itu.
lazimnya di indonesia disebut kakak adik ipar, demikian juga hubungan
antara anak tiri dengan bapak tiri, antara ibu tiri dengan anak tiri.
1. Q. Iv: 23j.
Dilarang kamu menikahi ibu istri kamu (mertua kamu yang perempuan).
K. Q. Iv: 23k.
Dilarang kamu menikahi anak tiri kamu yang perempuan yang ada dalam
pemeliharaan kamu dari istri yang telah kamu campuri, dan apabila istri
kamu itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu menikahi anak tiri
itu.
L. Q. Iv: 231.
Dilarang kamu menikahi istri anak shulbi kamu (menantu kamu yang perempuan).
M.Q. IV: 23m.
Jangan kamu menikahi saudara istri kamu yang perempuan, kecuali
apabila kamu ceraikan yang lain (dilarang kamu menikahi dua orang
perempuan bersaudara sekaligus).
Q. IV: 24.
Dihalalkan bagi kamu selain dari yang secara limitatif ditegaskan
demikian (lihat juga q. Xxxiii: 24, 35 dan 37 peristiwa zaid bin
haritsah dan zainab binti jahsyin.
Ad.4.b
Larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih bersifat khusus
larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih
bersifat khusus atau istimewa, karena ayat Quran mengenal larangan ini
diwahyukan Tuhan khusus untuk melarang perkawinan yang demikian ini
yaitu, Q.IV: 22.
“jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh
Bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji.”
larangan itu tentulah bersifat haram apabila dilanggar dengan
ketegasan kata-kata atau petunjuk Tuhan, bahwa perbuatan itu adalah
perbuatan yang jahat dan keji. Boleh ditafsirkan dengan tambahan
kata-kata jahat dan keji itu berarti sangat terkutuk sekati, sangat
dibenci dan dimarahi illahi seorang laki-iaki menikahi wanita yang telah
dinikahi oleh bapaknya (ibu tirinya). Menurut penulis larangan ini
ditujukan bukan saja perempuan yang masih dalam hubungan perkawinan
dengan bapaknya maupun yang telah dicerai baik cerai hidup maupun mati.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu qais bin Ai Aslat seorang
Anshar yang saleh meninggal dunia. Anaknya melamar bekas istri abu qais
itu (menikahi bekas ibu tiri).
Berkata wanita itu, “saya menganggap engkau sebagai anakku, dan
engkau termasuk dari kaumku.” maka menghadaplah pemuda itu kepada rasul
(nabi muhammad saw.) Bersabda rasul, “pulanglah engkau ke romanmu.”
Setelah Rasullallah berdoa turunlah. Q. IV: 22 tersebut.
Rawahul ibnu hatim, ai taryabi dan ath thabrani bersumber dari zaid bin tsabit.
Riwayat lain dikemukakan bahwa di zaman jahiliyah anak laki-iaki yang
ditinggal mati oleh bapaknya berhak atas diri ibu tirinya, apakah akan
menikahinya sendiri atau menikahkan dengan orang lain.
Ketika abu qais bin al aslat meninggal muhsin bin qais (anak abu
qais) menikahi bekas istri bapaknya itu dan tidak memberikan suatu
warisan apa pun kepada wan ita itu.
Mengadulah wanita itu kepada rasululjah, mengenai haknya, setelah
nabi muhammad saw. Berdoa turunlah q. Iv: 22 itu. Rawahul ibnu saad
bersumber dari Muhammad bin ka’ab ai qarthi. 5)
Ad.6. Larangan perkawinan poliandri Q. IV: 24
Jangan kamu (laki-laki) menikahi seorang wanita yang sedang bersuami.
Dari sudut wan ita ketentuan itu adalah berupa larangan melakukan
poliandri (seorang wanita yang telah bersuami menikah lagi dengan
laki-iaki lain).
dalam suatu hadis rasul diriwayatkan oleh muslim, Abu Daud, Al Tirmidzi dan Al Nasai berasal dari Abi Said Al Chudri.
Dalam peperangan anthos dalam tahun ke-2 pada waktu itu kaum muslimin
mendapat kemenangan dan berhasil memperoleh tawanan beberapa wanita
ahlil kitab yang masih bersuami. Pada waktu wanita-wanita itu mau
dinikahi oleh kaum muslimin mereka menolak dengan alasan masih bersuami.
Rasulullah saw. Menjawabnya berdasarkan Q.IV: 24 ini.
Demikian juga dalam peperangan hunain tahun ke-3 h juga para tawanan
wanita yang masih bersuami akan dinikahi oleh kaum muslimin yang berhak
atas tawanan itu mereka tidak mau. Rawahul ai thabrani bersumber dari
ibnu abbas.?)
Ad. 6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di ii’ an
li’an diatur dalam Al Quran Surah XXIV ayat 4 dan 6 atau Surah An Nuur. (cahaya).
Akibat istri yang di ii’ an maka mereka bercerai untuk selama¬
lamanya, dan tidak dapat, baik rujuk lagi maupun menikah lagi an tara
bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan hanya
mempunyai hubungan dengan ibunya.
Ad.7. Larangan menikahi wanita pezina maupun laki-laki pezina
Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari segala
unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga keagamaan.
Haramlah yang tidak melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian
perkawinan. Perkawinan yang didasarkan sekuler saja (menurut apa adanya
saja, kebudayaan saja) tidak. Akan dapat menjaga atau tidak akan mampu
menjaga kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam q. Xxiv: 3 (surah ai
nuur ayat 3).
Laki-iaki yang berzina tidak dapat menikahi perempuan baik¬baik. Ia
hanya dapat menikahi wanita pezina pula atau wanita musyrik. Dan
perempuan pezina tidak dapat dikawini laki-iaki baik¬baik. Dia hanya
dapat menikahi dengan laki-iaki pezina pula atau laki-iaki yang musyrik.
Demikian ditetapkan oleh allah dan diharamkan orang-orang mukmin
melakukan di luar ketentuan allah tersebut.
Ad. 8. Larangan suami menikahi perempuan (bekas istrinya)
Yang ditalak tiga kecuali perempuan bekas istri tersebut telah
dinikahi lebih dahulu oleh laki-iaki lain secara sah kemudian tertalak
lagi serta habis tenggang waktu iddah (menunggu).
Lihat Q. II: 230 yang berbunyi sebagai berikut: Q. II: 230.
Kemudian apabila si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami
yang lain. Kemudian apabila suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan bekas istri itu)
untuk menikah kembali, apabila keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum allah.
Ad.9. Larangan kawin lagi bagi laki-laki yang telah mempunyai istri 4 (empat) orang
Seperti telah penulis uraikan pada bab I pengertian tentang
perkawinan. Bahwa prinsipnya perkawinan menurut hukum islam itu adalah
monogami. Tetapi demi untuk melindungi atau untuk kepentingan anak yatim
yang berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan kamu bolehlah menikahi
ibu dati anak yatim tersebut dua, tiga atau maksimal 4 (empat) orang.
Berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi dibatasi
hanya sampai dengan 4 (empat) orang istti. Apabiia seseorang sudah
mempunyai 4 (empat) orang istri haramlah baginya menikah lagi untuk
kelimanya (istri keiima). Q. Iv: 3 juncto q. Iv: 127.
Disyaratkan dalam terjadinya akad nikah itu harus ada Ijab dan Qabul,
dengan tidak ada jarak pemisah antara terjadinya Ijab dan diucapkan¬nya
Qabul. Menurut ulama Malikiah tidaklah rusak akad itu dengan adanya
pemisah yang sesaat, sebagaimana dapat dipisahkan dengan khutbah sebentar.17)
Menurut ulama Hanafiah, bagaimana andaikata ada lamaran seorang pria
kepada seorang wanita, dengan mempergunakan surat (tulisan) kemudian
wanita itu memanggil2 (dua) orang saksi lalu membacakan isi surat sambil
berkata: aku nikahkan diriku kepada pelamar itu, maka sahlah perkawinan
itu.
Sepakat para ulama bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:
1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perem¬puan;
2. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh);
3. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada paksaan);
4. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan;
5. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-iaki yang diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya;
6. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-iaki islam merdeka;
7. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak
calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon
suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan.
Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya perkawinan (akad
nikah) antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk rumah tangga
(keluarga) yang bahagia kekal dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
8. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan)
maka seyogianya diadakan walimah (pesta pernikahan) walaupun hanya
sekadar minum teh manis atau dengan sepotong kaki kambing untuk bahan
sop;
10. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan
analogi q. Ii: 282 harus diadakan ilanun nikah (pendaftaran nikah),
kepada pejabat pencatat nikah, sesuai pula dengan undang-undang no. 22
tahun ] 946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun ]954 jo. Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 (lihat juga pasal 7 kompilasi hukum islam (instruksi
presiden ri no. ] tahun 1991. Pendaftaran ini penting untuk pembuktian
bagi generasi berikutnya, baik tentang keturunan berupa anak, dan cicit
maupun pembuktian tentang sahnya pewarisan kelak.
Menurut sajuti thalib, s.h., terjadinya nikah itu ialah sesudah
dipenuhi semua baik rukun maupun syarat perkawinan, seperti adanya calon
penga~tin perempuan dan calon pengantin laki-]aki persetujuan yang
bebas di an tara keduanya, telah matang baik jiwa maupun raganya,
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dibayar mahar (mas kawin), ada izin
dari orang tua wali, klimaksnya dengan aqdu al nikah (aqdunnikah)
diiringi dengan ijab (penawaran) dari pihak calon pengantin perempuan
serta qabul (penerimaan) dari pengantin laki-iaki.
Sunah hukumnya setelah ijab dan qabul tersebut se]esai diadakan walimah (beserta pengumuman tentang terjadinya nikah).19)
Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan
Dengan terjadinya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan),maka
seorang laki-iaki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam
keluarga, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam suatu
perkawinan memperoleh berbagai-bagai hak pula. Di samping itu mereka
pun memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari mengikatkan
diri dalam perkawinan itu.
Hak dan kewajiban suami istri itu ditegaskan, baik dalam Al quran maupun Hadis Rasul.Q. IV: 19
A. . . . . . . .
B. Hai suami janganlah kamu cari-cari kesalahan istri kamu itu dengan
maksud hendak mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu
berikan kepadanya.
C. Hai suami bergaullah kamu dengan istri kamu secara
pergaulan yang makruf (baik-baik).
D. Seandainya kamu telah merasa tidak senang kepada istri kamu itu,
hendaklah kamu sadari bahwa boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal
sedangkan allah menjadikan sesuatu hal tersebut kebaikan yang banyak.
A. Istilah makruf adalah istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan
iktikad baik untuk kejujuruan (tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang
baik (the good father) yang biasa kita temui dalam istilah¬istilah hukum
perdata ,baik mengenai hubungan orang dengan orang maupun mengenai
orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya bend a (harta
kekayaan).26)
B. Dalam pengertian makruf (baik-baik) ialah an tara suami istri
harus saling menghormati dan wajib menjaga rahasia masing¬masmg.
Dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi suami membuka rahasia
istrinya, demikian pula sebaliknya haram si istri membuka rahasia
suaminya.
Dan amat terpuji suami istri yang menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana firman allah: Q. IV: 34
Demikian pula kita temui pemyataan-pemyataan kemarahan Tuhan kepada
suami istri yang saling membuka rahasia mereka masing-masing kepada
pihak ketiga, yang dijelaskan oleh rasul dalam suatu hadis yang
diriwayatkan oleh muslim.
Sabda rasul:
Bahwa sesungguhnya di antara yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari
kiamat (akhirat), (yaumil mahsyar) ialah seorang suami yang diberi tahu
oleh istrinya tentang rahasia istri itu, sedangkan oleh suami tadi
rahasia itu disiarkannya.
Begitupun seorang istri yang diberi tahu oleh suaminya tentang
rahasia suami itu, kemudian oleh istri itu dibukakannya kepada pihak lain.28)
Dalam salah satu hadis yang lain rasul menyatakan ketidaksenangan
beliau kepada suami istri yang telah membuka rahasia masing-masing.
Mereka yang membukakan rahasia masing-masing antara suarni istri kepada
pihak lain sarna dengan setan (iblis).
Rawahul asmak binti yazid dan dibukukan oleh imam ahmad.29)
Seorang suarni/istri rnernbukakan rahasia rnasing-rnasing kepada
pihak ketiga berarti tidak ada lagi unsur hormat-rnenghormati dan saling
rnernberikan bantuan lahir dan batin.
Di dalarn Quran ditegaskan lagi oleh tuhan: Q. XXX: 21 (Ar Ruurn)
A. Dari pertanda-pertanda tuhan, ialah Tuhan rnenjadikan pasangan
karnu dari diri karnu sendiri pasangan hidup karnu untuk kamu dapat
hidup secara sakinah (tenterarn) dengan istri karnu itu.
B. Dan dari pertanda-pertanda tuhan, ialah tuhan menjadi.kan antara suami istri itu mawaddah (cinta-mencintai) dan rahmah
(satuan-menyantuni).30)
Mawaddah artinya cinta-mencintai antara suami istri yang meliputi
pula arti saling memerlukan dalam hubungan seks. Umumnya hal tersebut
sangat diperlukan oleh pasangan suami istri yang masih muda dan sesudah
tua timbul rasa santun-menyantuni (rahmah).
Sedangkan pengurusan rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak sehari-hari menjadi kewajiban istri berdasarkan hadis rasul yang
Diriwayatkan bukhari dan muslim.
“Bahwa istri adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suami istri yan bersangkutan.”32)
Kelebihan fisik laki-iaki dari wanita dilihat dari kenyataan.
Karena kelebihan fisik ini maka suami diberi kewajiban memberi nafkah
dan menyediakan tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya seperti
ditegaskan tuhan dalam Q. LXV: 6. (surah Ai Thalaq: 6).
A) Berilah tempat istrimu itu di mana kamu bertempat tinggal menurut kesanggupan kamu.
B) Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka.
Dari Q. LXV: 6 ini terlihatlah ketentuan agar dalam menentukan tempat
tinggal dipakai cara semacam patrilokal. Patrilokal di sini adalah
semacam patrilokal dalam arti si istri bertempat tinggal di tempat suami
bukan berarti bertempat tinggal di tempat keluarga si suami dan pindah
menjadi keluarga dari keluarga suami.
Menurut prof. Dr. Hazairin, S.H., patrilokal dalam islam ialah
patrilokal dalam arti si istri wajib mengikuti suami. Jadi dalam Q. LX: 6
ini perintah ditujukan kepada suami untuk memberi tempat tinggal kepada
istri dan tempat tinggal itu bersama suami sendiri. Namun demikian
janganlah penentuan tempat tinggal oleh suami itu memberatkan istrinya.
Bahwa pada prinsipnya pergaulan suami istri itu hendaklah:
1. Suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
2. Pergaulan yang makruf atau pergaulan yang baik serta saling menjaga rahasia masing-masing.
3. Pergaulan yang sakinah atau pergaulan yang tenteram.
4. Pergaulan yang diliputi rasa mawaddah atau cinta-mencintai terutama di masa muda.
5. Pergaulan yang disertai rahmah, yaitu rasa santun-menyantuni terutama pada waktu tua telah mendatang.
Kedudukan suami istri
1. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan per¬gaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Kewajiban Suami
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya,akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami-istri secara bersama. (pasal 80 ayat (1).
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memb~rikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama,
nusa, dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
A. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri;
B. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan
Bagi istri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak. (pasal 80 ayat (4».
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah tamkim sempuma dari
istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
Tempat kediaman
1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri
selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak¬anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,
sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang
1. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing¬masing istri secara
berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung
masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.
Kewajiban Istri
1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin
kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
3. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (j) kecuali
dengan alasan yang sah.
4. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya yang
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali
hal-hal untuk kepentingan anaknya.
5. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
6. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Tentang pemeliharaan anak
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 2]
tahun, sepanjang anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental
atau belum pemah melangsungkan perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segaia perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
3. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya
tidak mampu.
RUKUN DAN SYARAT
PERNIKAHAN
A. PENDAHULUAN
Pernikahan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang
sah harus memperhatikan larangan-larangan perkawinan sebagai tersebut di
bawah ini.
B. BEBERAPA ASAS HUKUM PERNIKAHAN
Dalam membicarakan larangan perkawinan menurut hukum islam, ada 3
(tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu: 1) asas absolut abstrak, 2)
asas selektivitas dan asas legalitas. Asas absolut abstrak, ialah suatu
asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami istri itu
sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan
manusia yang bersangkutan, Asas selektivitas adalah suatu asas dalam
suatu perkawinan di mana seseorang yang hendak menikah itu harus
menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa
dia dilarangnya. Asas legalitas ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib
hukumnya dicatatkan.
C. ADA BERMACAM-MACAM LARANGAN PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM (ASAS SELEKTIVITAS)
Asas selektivitas dirumuskan dalam beberapa larangan pernikahan,
dengan siapa dia boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa dia
dilarang (tidak boleh menikah).
Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) antara lain:
11. Larangan perkawinan karena berlainan agama;
12. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat;
13. Larangan perkawinan karena hubungan susuan;
14. Larangan perkawinan karena hubungan semenda;
15. Larangan perkawinan poliandri;
16. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di Li’ an;
17. Larangan perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina;
18. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri yang ditalak tiga);
19. Larangan kawin bagi pria yang telah beristri empat, dijabarkan satu per satu sebagai berikut:
Ad.1. Larangan Perkawinan Karena Berlainan Agama
Dasar hukumnya Al quran surah II ayat 221, yang berbunyi. Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman,
sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik
walaupun dia menarik hatimu. (Al Baqarah ayat 221)
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan
wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintahnya kepada
manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam kaitan ini baik ditinjau Asbabun Nuzul dari Q.II: 221.
b. Ibnu Abi Murtsid Al Chanawi memohon izin kepada Nabi Muhammad SAW,
agar dia dapat diizinkan menikah dengan seorang wanita musyrik yang
cantik dan amat terpandang. Rasulullah belum dapat menjawab walaupun
telah 2x ditanya. Sesudah Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah
Q.II: 221. Yang melarang laki-iaki muslim menikahi wanita musyrik dan
sebaliknya melarang wanita muslim menikahi laki-¬laki musyrik. (Rawahul
Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al wahidi).
B. Abdullah bin Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang
amat hitam. Pada waktu itu ia marah kepadanya dan menampar budak
tersebut tetapi kemudian ia menyesal, lalu menceritakan kepada Nabi
Muhamamd saw. Dan bertekad akan menebus penyesalan itu dengan menikahi
budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu mencela dan mengejek
tindakan Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau
melaksanakan¬nya. Maka turunlah q. Ii: 221 sebagai pembenaran
tindakannya itu:
“Bahwa seorang hamba sahaya (budak) yang muslimah lebih baik daripada wanita musyrik.”
Rawahul Al Wahidi dari Assu’udi dan berasal dari Abi Maliki, bersumber dari Ibnu Abbas.
Kedua kasus atau peristiwa tersebut di atas adalah asbabun alnuzzul
(asbabun nuzul) dari Q.II: 221. Bahwa menikahi wanita budak (hamba
sahaya atau pembantu) yang mukmin lebih baik daripada menikahi wanita
nonmuslim (musyrik) walaupun dia cantik dan menarik (lihat juga fatwa
MUI DKI Jaya tanggal 30 september 1986, tentang larangan perkawinan
antaragama).
Ad.2.Larangan Perkawinan Karena Hubungan Darah Yang Terlampau Dekat
Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara
keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan
mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat bahkan
kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr. Ahmad ramali
Jalan Menuju Kesehatan Jilid I, halaman 221).
A. Q. IV: 23a.
Dilarang karnu (laki-laki) rnenikahi ibu kandung karnu.
B. Q .IV: 23b.
Dilarang kamu (laki-laki) rnenikahi anak perernpuan kandungmu.
C. Q. IV: 23c.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandungmu yang perempuan.
D. Q. IV: 23d.
Dilarang karnu rnenikahi anak perernpuan dari saudara laki-iaki kandungmu.
E. Q. IV: 23e.
Dilarang kamu menikahi anak perernpuan dari saudara perempuan kandungmu.
F. Q. IV: 23f.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ibu kamu.
G. Q. IV: 23g.
Dilarang kamu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ayah karnu.
Larangan di sini bukan berarti larangan menikahi dalam arti formil
saja (melalui prosedur akad nikah dengan ijab qabul), tetapi juga
termasuk larangan menikahi secara materiil yaitu melakukan hubungan
seksual.
Bilamana kita hubungkan dengan pengertian nikah menurut versi hanafi
bahwa nikah itu dalam pengertian asli ialah hubungan seksual, sedangkan
menurut syafi’ i nikah itu menurut pengertian majazi (metheportic)
adalah hubungan seksual antara seorang wan ita dengan seorang pria.
Justru karena itu dalam pergaulan sehari-hari an tara ayah dengan
anak perempuan yang sudah dewasa (baligh), demikian juga antara seorang
anak laki-iaki dewasa dengan ibunya haruslah dijaga sedemikian rupa agar
jangan sampai terlanggar norma hukum tuhan yang maha esa tersebut
(lihat pos kota tanggal 26 desember 1979 dan tanggal 10 desember 1979).
Ad.3. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan
Masih dalam pembicaraan q. Iv: 23 terdapat aturan tentang larangan perkawinan karena ada hubungan susuan.
Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak
mempunyai hubungan darah, tetapi pemah menyusu (menetek) dengan ibu
(wanita) yang sarna dianggap mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya
timbul larangan menikah an tara keduanya karena alasan sesusu
(sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu beberapa kalikah
menyusu itu atau berapa lama menyusu itu yang menimbulkan larangan
menikah itu.
Ada dua pendapat tentang masalah tersebut.
Pendapat pertama mengatakan bahwa walaupun menyusu (menetek) itu satu
kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan
antara anak laki-iaki yang menyusu itu bahkan juga berlaku larangan bagi
anak laki-iaki itu kelak dengan anak dari ibu (wanita) tempat dia
menyusu itu pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta
pengikut-pengikut mazhab hanafiah tersebut seperti juga, hambali dan
imam malik.
Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu minimal 5 (lima) kali sampai
kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan kapan
waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali itu, atau
berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah timbul larangan
perkawinannya. Pendapat ini adalah pendapat imam syafi’i dengan para
penganutnya.
Di samping itu berdasarkan penyelidikan dari sudut medis (ilmu
kesehatan). Maka ternyata air susu ibu itu barn berproses menjadi darah
dan daging untuk membentuk fisik bayi apabila~ menyusui itu minimal 5
(lima) kali sampai kenyang (iihat dr. Ahmadi ramali: jalan menuju
kesehatan).
Berhubung dengan itu ada tendensi (iebih banyak) bahwa pendapat imam
syafi’i itu didukung oleh para faqih (para sarjana islam) termasuk
penulis.
H. Q. IV: 23h.
Dilarang kamu menikahi perempuan di mana kamu pernah menyusui.
I. Q. IV: 23i.
Dilarang kamu menikahi perempuan sesama susuan yaitu anall dari perempuan yang kamu pernah menyusu pada ibunya.I
Ad.4.a. Larangan perkawinan karena hubungan semenda
Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan yang
terdahulu, misalnya kakak adik perempuan dari istri kamu (laki-laki).
Laki-iaki (kamu) telah menikahi kakaknya yang perempuan atau adiknya
yang perempuan maka timbullah larangan perkawin antara suami dari
kakakladik perempuan itu dengan kakaknya ¬perempuan itu.
lazimnya di indonesia disebut kakak adik ipar, demikian juga hubungan
antara anak tiri dengan bapak tiri, antara ibu tiri dengan anak tiri.
1. Q. Iv: 23j.
Dilarang kamu menikahi ibu istri kamu (mertua kamu yang perempuan).
K. Q. Iv: 23k.
Dilarang kamu menikahi anak tiri kamu yang perempuan yang ada dalam
pemeliharaan kamu dari istri yang telah kamu campuri, dan apabila istri
kamu itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu menikahi anak tiri
itu.
L. Q. Iv: 231.
Dilarang kamu menikahi istri anak shulbi kamu (menantu kamu yang perempuan).
M.Q. IV: 23m.
Jangan kamu menikahi saudara istri kamu yang perempuan, kecuali
apabila kamu ceraikan yang lain (dilarang kamu menikahi dua orang
perempuan bersaudara sekaligus).
Q. IV: 24.
Dihalalkan bagi kamu selain dari yang secara limitatif ditegaskan
demikian (lihat juga q. Xxxiii: 24, 35 dan 37 peristiwa zaid bin
haritsah dan zainab binti jahsyin.
Ad.4.b
Larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih bersifat khusus
larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih
bersifat khusus atau istimewa, karena ayat Quran mengenal larangan ini
diwahyukan Tuhan khusus untuk melarang perkawinan yang demikian ini
yaitu, Q.IV: 22.
“jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh
Bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji.”
larangan itu tentulah bersifat haram apabila dilanggar dengan
ketegasan kata-kata atau petunjuk Tuhan, bahwa perbuatan itu adalah
perbuatan yang jahat dan keji. Boleh ditafsirkan dengan tambahan
kata-kata jahat dan keji itu berarti sangat terkutuk sekati, sangat
dibenci dan dimarahi illahi seorang laki-iaki menikahi wanita yang telah
dinikahi oleh bapaknya (ibu tirinya). Menurut penulis larangan ini
ditujukan bukan saja perempuan yang masih dalam hubungan perkawinan
dengan bapaknya maupun yang telah dicerai baik cerai hidup maupun mati.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu qais bin Ai Aslat seorang
Anshar yang saleh meninggal dunia. Anaknya melamar bekas istri abu qais
itu (menikahi bekas ibu tiri).
Berkata wanita itu, “saya menganggap engkau sebagai anakku, dan
engkau termasuk dari kaumku.” maka menghadaplah pemuda itu kepada rasul
(nabi muhammad saw.) Bersabda rasul, “pulanglah engkau ke romanmu.”
Setelah Rasullallah berdoa turunlah. Q. IV: 22 tersebut.
Rawahul ibnu hatim, ai taryabi dan ath thabrani bersumber dari zaid bin tsabit.
Riwayat lain dikemukakan bahwa di zaman jahiliyah anak laki-iaki yang
ditinggal mati oleh bapaknya berhak atas diri ibu tirinya, apakah akan
menikahinya sendiri atau menikahkan dengan orang lain.
Ketika abu qais bin al aslat meninggal muhsin bin qais (anak abu
qais) menikahi bekas istri bapaknya itu dan tidak memberikan suatu
warisan apa pun kepada wan ita itu.
Mengadulah wanita itu kepada rasululjah, mengenai haknya, setelah
nabi muhammad saw. Berdoa turunlah q. Iv: 22 itu. Rawahul ibnu saad
bersumber dari Muhammad bin ka’ab ai qarthi. 5)
Ad.6. Larangan perkawinan poliandri Q. IV: 24
Jangan kamu (laki-laki) menikahi seorang wanita yang sedang bersuami.
Dari sudut wan ita ketentuan itu adalah berupa larangan melakukan
poliandri (seorang wanita yang telah bersuami menikah lagi dengan
laki-iaki lain).
dalam suatu hadis rasul diriwayatkan oleh muslim, Abu Daud, Al Tirmidzi dan Al Nasai berasal dari Abi Said Al Chudri.
Dalam peperangan anthos dalam tahun ke-2 pada waktu itu kaum muslimin
mendapat kemenangan dan berhasil memperoleh tawanan beberapa wanita
ahlil kitab yang masih bersuami. Pada waktu wanita-wanita itu mau
dinikahi oleh kaum muslimin mereka menolak dengan alasan masih bersuami.
Rasulullah saw. Menjawabnya berdasarkan Q.IV: 24 ini.
Demikian juga dalam peperangan hunain tahun ke-3 h juga para tawanan
wanita yang masih bersuami akan dinikahi oleh kaum muslimin yang berhak
atas tawanan itu mereka tidak mau. Rawahul ai thabrani bersumber dari
ibnu abbas.?)
Ad. 6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di ii’ an
li’an diatur dalam Al Quran Surah XXIV ayat 4 dan 6 atau Surah An Nuur. (cahaya).
Akibat istri yang di ii’ an maka mereka bercerai untuk selama¬
lamanya, dan tidak dapat, baik rujuk lagi maupun menikah lagi an tara
bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan hanya
mempunyai hubungan dengan ibunya.
Ad.7. Larangan menikahi wanita pezina maupun laki-laki pezina
Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari segala
unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga keagamaan.
Haramlah yang tidak melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian
perkawinan. Perkawinan yang didasarkan sekuler saja (menurut apa adanya
saja, kebudayaan saja) tidak. Akan dapat menjaga atau tidak akan mampu
menjaga kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam q. Xxiv: 3 (surah ai
nuur ayat 3).
Laki-iaki yang berzina tidak dapat menikahi perempuan baik¬baik. Ia
hanya dapat menikahi wanita pezina pula atau wanita musyrik. Dan
perempuan pezina tidak dapat dikawini laki-iaki baik¬baik. Dia hanya
dapat menikahi dengan laki-iaki pezina pula atau laki-iaki yang musyrik.
Demikian ditetapkan oleh allah dan diharamkan orang-orang mukmin
melakukan di luar ketentuan allah tersebut.
Ad. 8. Larangan suami menikahi perempuan (bekas istrinya)
Yang ditalak tiga kecuali perempuan bekas istri tersebut telah
dinikahi lebih dahulu oleh laki-iaki lain secara sah kemudian tertalak
lagi serta habis tenggang waktu iddah (menunggu).
Lihat Q. II: 230 yang berbunyi sebagai berikut: Q. II: 230.
Kemudian apabila si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami
yang lain. Kemudian apabila suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan bekas istri itu)
untuk menikah kembali, apabila keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum allah.
Ada.9. Larangan kawin lagi bagi laki-laki yang telah mempunyai istri 4 (empat) orang
Seperti telah penulis uraikan pada bab I pengertian tentang
perkawinan. Bahwa prinsipnya perkawinan menurut hukum islam itu adalah
monogami. Tetapi demi untuk melindungi atau untuk kepentingan anak yatim
yang berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan kamu bolehlah menikahi
ibu dati anak yatim tersebut dua, tiga atau maksimal 4 (empat) orang.
Berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi dibatasi
hanya sampai dengan 4 (empat) orang istti. Apabiia seseorang sudah
mempunyai 4 (empat) orang istri haramlah baginya menikah lagi untuk
kelimanya (istri keiima). Q. Iv: 3 juncto q. Iv: 127.
Disyaratkan dalam terjadinya akad nikah itu harus ada Ijab dan Qabul,
dengan tidak ada jarak pemisah antara terjadinya Ijab dan diucapkan¬nya
Qabul. Menurut ulama Malikiah tidaklah rusak akad itu dengan adanya
pemisah yang sesaat, sebagaimana dapat dipisahkan dengan khutbah sebentar.17)
Menurut ulama Hanafiah, bagaimana andaikata ada lamaran seorang pria
kepada seorang wanita, dengan mempergunakan surat (tulisan) kemudian
wanita itu memanggil2 (dua) orang saksi lalu membacakan isi surat sambil
berkata: aku nikahkan diriku kepada pelamar itu, maka sahlah perkawinan
itu.
Sepakat para ulama bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:
1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perem¬puan;
2. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh);
3. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada paksaan);
4. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan;
5. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-iaki yang diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya;
6. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-iaki islam merdeka;
7. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak
calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon
suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan.
Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya perkawinan (akad
nikah) antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk rumah tangga
(keluarga) yang bahagia kekal dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
8. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan)
maka seyogianya diadakan walimah (pesta pernikahan) walaupun hanya
sekadar minum teh manis atau dengan sepotong kaki kambing untuk bahan
sop;
20. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan
analogi q. Ii: 282 harus diadakan ilanun nikah (pendaftaran nikah),
kepada pejabat pencatat nikah, sesuai pula dengan undang-undang no. 22
tahun ] 946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun ]954 jo. Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 (lihat juga pasal 7 kompilasi hukum islam (instruksi
presiden ri no. ] tahun 1991. Pendaftaran ini penting untuk pembuktian
bagi generasi berikutnya, baik tentang keturunan berupa anak, dan cicit
maupun pembuktian tentang sahnya pewarisan kelak.
Menurut sajuti thalib, s.h., terjadinya nikah itu ialah sesudah
dipenuhi semua baik rukun maupun syarat perkawinan, seperti adanya calon
penga~tin perempuan dan calon pengantin laki-]aki persetujuan yang
bebas di an tara keduanya, telah matang baik jiwa maupun raganya,
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dibayar mahar (mas kawin), ada izin
dari orang tua wali, klimaksnya dengan aqdu al nikah (aqdunnikah)
diiringi dengan ijab (penawaran) dari pihak calon pengantin perempuan
serta qabul (penerimaan) dari pengantin laki-iaki.
Sunah hukumnya setelah ijab dan qabul tersebut se]esai diadakan walimah (beserta pengumuman tentang terjadinya nikah).19)
Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan
Dengan terjadinya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan),maka
seorang laki-iaki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam
keluarga, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam suatu
perkawinan memperoleh berbagai-bagai hak pula. Di samping itu mereka
pun memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari mengikatkan
diri dalam perkawinan itu.
Hak dan kewajiban suami istri itu ditegaskan, baik dalam Al quran maupun Hadis Rasul.Q. IV: 19
A. . . . . . . .
B. Hai suami janganlah kamu cari-cari kesalahan istri kamu itu dengan
maksud hendak mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu
berikan kepadanya.
C. Hai suami bergaullah kamu dengan istri kamu secara
pergaulan yang makruf (baik-baik).
D. Seandainya kamu telah merasa tidak senang kepada istri kamu itu,
hendaklah kamu sadari bahwa boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal
sedangkan allah menjadikan sesuatu hal tersebut kebaikan yang banyak.
A. Istilah makruf adalah istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan
iktikad baik untuk kejujuruan (tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang
baik (the good father) yang biasa kita temui dalam istilah¬istilah hukum
perdata ,baik mengenai hubungan orang dengan orang maupun mengenai
orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya bend a (harta
kekayaan).26)
B. Dalam pengertian makruf (baik-baik) ialah an tara suami istri
harus saling menghormati dan wajib menjaga rahasia masing¬masmg.
Dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi suami membuka rahasia
istrinya, demikian pula sebaliknya haram si istri membuka rahasia
suaminya.
Dan amat terpuji suami istri yang menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana firman allah: Q. IV: 34
Demikian pula kita temui pemyataan-pemyataan kemarahan Tuhan kepada
suami istri yang saling membuka rahasia mereka masing-masing kepada
pihak ketiga, yang dijelaskan oleh rasul dalam suatu hadis yang
diriwayatkan oleh muslim.
Sabda rasul:
Bahwa sesungguhnya di antara yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari
kiamat (akhirat), (yaumil mahsyar) ialah seorang suami yang diberi tahu
oleh istrinya tentang rahasia istri itu, sedangkan oleh suami tadi
rahasia itu disiarkannya.
Begitupun seorang istri yang diberi tahu oleh suaminya tentang
rahasia suami itu, kemudian oleh istri itu dibukakannya kepada pihak lain.28)
Dalam salah satu hadis yang lain rasul menyatakan ketidaksenangan
beliau kepada suami istri yang telah membuka rahasia masing-masing.
Mereka yang membukakan rahasia masing-masing antara suarni istri kepada
pihak lain sarna dengan setan (iblis).
Rawahul asmak binti yazid dan dibukukan oleh imam ahmad.29)
Seorang suarni/istri rnernbukakan rahasia rnasing-rnasing kepada
pihak ketiga berarti tidak ada lagi unsur hormat-rnenghormati dan saling
rnernberikan bantuan lahir dan batin.
Di dalarn Quran ditegaskan lagi oleh tuhan: Q. XXX: 21 (Ar Ruurn)
A. Dari pertanda-pertanda tuhan, ialah Tuhan rnenjadikan pasangan
karnu dari diri karnu sendiri pasangan hidup karnu untuk kamu dapat
hidup secara sakinah (tenterarn) dengan istri karnu itu.
B. Dan dari pertanda-pertanda tuhan, ialah tuhan menjadi.kan antara suami istri itu mawaddah (cinta-mencintai) dan rahmah
(satuan-menyantuni).30)
Mawaddah artinya cinta-mencintai antara suami istri yang meliputi
pula arti saling memerlukan dalam hubungan seks. Umumnya hal tersebut
sangat diperlukan oleh pasangan suami istri yang masih muda dan sesudah
tua timbul rasa santun-menyantuni (rahmah).
Sedangkan pengurusan rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak sehari-hari menjadi kewajiban istri berdasarkan hadis rasul yang
Diriwayatkan bukhari dan muslim.
“Bahwa istri adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suami istri yan bersangkutan.”32)
Kelebihan fisik laki-iaki dari wanita dilihat dari kenyataan.
Karena kelebihan fisik ini maka suami diberi kewajiban memberi nafkah
dan menyediakan tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya seperti
ditegaskan tuhan dalam Q. LXV: 6. (surah Ai Thalaq: 6).
A) Berilah tempat istrimu itu di mana kamu bertempat tinggal menurut kesanggupan kamu.
B) Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka.
Dari Q. LXV: 6 ini terlihatlah ketentuan agar dalam menentukan tempat
tinggal dipakai cara semacam patrilokal. Patrilokal di sini adalah
semacam patrilokal dalam arti si istri bertempat tinggal di tempat suami
bukan berarti bertempat tinggal di tempat keluarga si suami dan pindah
menjadi keluarga dari keluarga suami.
Menurut prof. Dr. Hazairin, S.H., patrilokal dalam islam ialah
patrilokal dalam arti si istri wajib mengikuti suami. Jadi dalam Q. LX: 6
ini perintah ditujukan kepada suami untuk memberi tempat tinggal kepada
istri dan tempat tinggal itu bersama suami sendiri. Namun demikian
janganlah penentuan tempat tinggal oleh suami itu memberatkan istrinya.
Bahwa pada prinsipnya pergaulan suami istri itu hendaklah:
6. Suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
7. Pergaulan yang makruf atau pergaulan yang baik serta saling menjaga rahasia masing-masing.
8. Pergaulan yang sakinah atau pergaulan yang tenteram.
9. Pergaulan yang diliputi rasa mawaddah atau cinta-mencintai terutama di masa muda.
10. Pergaulan yang disertai rahmah, yaitu rasa santun-menyantuni terutama pada waktu tua telah mendatang.
Kedudukan suami istri
4. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
5. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan per¬gaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
6. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Kewajiban Suami
5. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya,akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami-istri secara bersama. (pasal 80 ayat (1).
6. Suami wajib melindungi istrinya dan memb~rikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
7. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama,
nusa, dan bangsa.
8. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
A. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri;
B. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan
Bagi istri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak. (pasal 80 ayat (4».
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah tamkim sempuma dari
istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
Tempat kediaman
5. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.
6. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri
selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
7. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak¬anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,
sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
8. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang
3. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing¬masing istri secara
berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung
masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
4. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.
Kewajiban Istri
7. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin
kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum islam.
8. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
9. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (j) kecuali
dengan alasan yang sah.
10. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya yang
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali
hal-hal untuk kepentingan anaknya.
11. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
12. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Tentang pemeliharaan anak
4. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 2]
tahun, sepanjang anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental
atau belum pemah melangsungkan perkawinan.
5. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segaia perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
6. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya
tidak mamp
PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERWALIAN NIKAH
A. Pengertian Wali dalam Pernikahan
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali
dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau
penolong.[1] Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung
pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk
mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang
mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan
janji nikah dengan pengantin pria). [2]
Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh ‘ala Mazaahib Al Arba’ah :
الولى فى النكاح هو : ما يتوقف عليه صحّة العقد فلا يصحّ بدونه٣
“Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali)”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa
wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili
pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad
nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.
Wali ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, yang umum
berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau negara dan yang
khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda.
Dalam pembahasan skripsi ini yang akan dibicarakan adalah wali
terhadap manusia yang bersifat khusus, yaitu tentang perwalian dalam
pernikahannya.
B. Syarat-syarat Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang
dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
6. Tidak sedang ihrom atau umroh.4
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut :
Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak,
orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang
tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang
lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang
dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak
boleh menjadi walinya orang Islam. 5 Allah berfirman:
…ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)
Artinya : ” … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan
kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141
Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, syarat-syarat menjadi wali adalah :
1. Beragama Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Tidak dipaksa
5. Terang lelakinya
6. Adil (bukan Fasik)
7. Tidak sedang ihrom haji atau umroh
8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bissafah).
9. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.6
Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa persyaratan untuk menjadi wali secara umum adalah :
1. Islam
Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama
Islam pula sebab orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi
wali bagi orang Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
…ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)
Artinya : ” … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan
kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141
2. Baligh
Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran
terhadap kemampuan berpikir dan bertindak secara sadar dan baik.7 Hal
ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
عن علي رضي الله عنه عن النبي ص.م. قال : رفع القلم عن أمتى عن ثلاثة :
عن النائم حتّى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أبو
داود)٨
Artinya: “Dari Ali ra. Dari Nabi SAW. Bersabda : Dibebaskannya
tanggungan atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang yang
sedang tidur sampai ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia
bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari gilanya”. (
H.R. Abu Daud)
Hadits diatas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat menjadi wali apabila telah dewasa.
3. Laki-laki
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun
menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan
oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan
Hadits Rasulullah SAW:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.:لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها (رواه ابن ماجه والدارقطنى)٩
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda
“wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh
mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni ).
4. Berakal
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung
jawab, karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Orang
yang kurang sehat akalnya atau gila atau juga orang yang berpenyakit
ayan tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi wali.
Jadi salah satu syarat menjadi wali adalah berakal dan orang gila tidak sah menjadi wali.10
5. Adil
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak
bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak
membiasakan diri berbuat munkar.13
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun
yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan
akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini
sesuai dengan sabda Nabi SAW:
عن عمران بن حصين عن النبي ص.م. قال: لا نكاح إلا بولي وشاهدىعدل (رواه أحمد بن حنبل)١٤
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hambal).
Berdasarkan hadits diatas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak
mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.
C. Fungsi dan Kedudukan Wali
1. Fungsi Wali
Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya
pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil
(berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini
berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh
walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya
sendiri.
Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup
dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam
bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan daripada pemikirannya,
maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan
pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.
Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang
mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang
diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada
umumnya (fitrahnya) adalah pemalu (isin-Jawa), maka pengucapan ijab itu
perlu diwakilkan kepada walinya.15
Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi
wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.
2. Kedudukan wali
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan.
Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits yang secara
tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu
hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan
keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.
Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
a. Jumhur ulama, Imam Syafi’I dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan
dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan
yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).16 Alasan yang
mereka kemukakan, diantaranya:
1. Q.S. An Nur/24 : 3
وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم… (النور\ (٣٢ :٢٤
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki perempuan…” (Q.S. An Nur:24/ 32).
2. Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al Asy’ari.
عن ابى موسى عن ابيه رضي الله تعالى عنهما قال: قال رسول الله ص.م.: لا
نكاح إلا بولي (رواه أحمد و الأربعة و صحه ابن المد ينى و الترمذى وابن
حبان)۱۷
Artinya : “Dari Abi Musa Al- Asy’ari dari Ayahnya ra berkata
Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan
adanya wali” (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan
At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)
Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir menafikan
(meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan
sempurnanya akad nikah.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ص.م. : أيما إمرأة نكاحت
بغير إذن وليهافنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحهاباطل.فإن أصابها فلها
مهرها بما أصاب من فرجها وإن اشتجروافالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه
أحمد) ١٨
Artinya: ” Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda:
“Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal,
maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah
disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan
itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang
menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali.” (HR. Ahmad).
Hadits diatas mengandung beberapa pengertian
– Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali , maka hukumnya batal
– Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar mitsil.
– Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali hakim.
Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa
tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya.
Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh
tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia
tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah
diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar
tercapai dengan sempurna.
b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal,
maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa
wali. Alasan yang mereka kemukakan antara lain:
1. Q.S. Al- Baqarah : 2/232
وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن … (البقرة\٢: ٢٣٢)
Artinya : ” Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya…” (Q.S. Al-Baqarah: 2/ 232).
Menurut mereka ayat diatas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.
2. Dari Hadits Ibnu Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:
عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها
والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها, وفى رواية لأبى داود والنسائى :
ليس للولي مع الثيب أمر واليتيمة تستأم (رواه بخرى و مسلم)۱۹
Artinya: ” Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda:
“Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak
gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada
suatu riwayat Abu Daud dan An- Nasa’I: “Tidak ada urusan wali terhadap
janda; dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)”(HR. Bukhori dan
Muslim).
Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) mengenai
urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan
pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya,
karena ia masih pemalu maka cukup dengan diamnya Hal ini dianggap
sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam
akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa,
berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat
menurut syara’, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena
nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi
apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu
dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).
Selanjutnya Imam-imam yang lain pun berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan,20 di antaranya:
a. Daud Dzahiry
Beliau berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis wali menjadi syarat
b. Asy- Sya’bi dan Az- Zuhry
Mereka berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak
sekufu’ dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu’, maka
wali tidak menjadi syarat.
c. Abu Tsur
Beliau berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.
D. Macam-macam Wali
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali
hakim dan muhakkam, Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai
ke-3 macam wali tersebut.
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Wali nasab urutannya adalah:
1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
3. Saudara laki-laki sebapak
4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah
6. Paman (saudara dari bapak) kandung
7. Paman (saudara dari bapak) sebapak
8. Anak laki-laki paman kandung
9. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah.21
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak
menjadi wali adalah bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak
memenuhi persyaratan, maka wali berpindah kepada kakek dan bila kakek
telah meninggal atau kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka
wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya keatas. Begitulah
seterusnya sampai urutan yang terakhir.
Ada beberapa hal yang menjadikan perwalian yang lebih dekat itu dapat
digantikan oleh wali yang lebih jauh. Seperti dikemukakan di bawah ini:
Wali yang lebih berhak tidak ada, wali yang lebih berhak belum
baligh, yang berhak menderita sakit gila, wali yang lebih berhak pikun
karena tua, wali yang lebih berhak bisu tidak bisa diterima isyaratnya,
wali yang lebih berhak tidak beragama Islam sedangkan wanita itu
beragama Islam.22
Jika wali yang lebih berhak tidak ada, maka yang menggantikannya
adalah wali yang lebih jauh dengan memperhatikan urutan seperti yang
tercantum dalam kutipan tersebut. Bila terjadi di luar ketentuan
tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang lain, yaitu wali
sultan atau hakim.
Wali nasab terbagi dua. Pertama, wali nasab yang berhak memaksa
menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan itu mesti
kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali mujbir.23
Wali mujbir yang mempunyai hak untuk mengawinkan anak perempuannya
dengan tidak harus meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya
harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.
b. Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya
c. Calon suami itu mampu membayar mas kawin
d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti orang buta.
Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa perkawinan
dinyatakan sah bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan
ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Akan
tetapi bila salah satu persyaratan diatas tidak terpenuhi maka anak
perempuan itu dimintai izin terlebih dahulu sebelum dinikahkan.
Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai hak kekuasaan memaksa atau
wali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman
yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak dari bapak dan seterusnya
anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinial.24
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak
sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali
nasab apabila:
a. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
b. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
c. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
d. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
e. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
f. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.25
g. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
h. Walinya gila atau fasik.26
Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk
menggantikan wali nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan
kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang
diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang
ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang
terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat,
berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.27
Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali
hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan
dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya ialah kedua calon
suami-istri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang
hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar